Pendamping SBY untuk melaju Pilpres 2009 yakni Dr. Boediono(Gubernur BI) yang sudah beredar di media massa bukanlah hal yang mengejutkan. Menurut saya, pilihan Capres SBY memilih Cawapres Boediono sudah tepat dalam tataran kepentingan partai Demokrat khususnya dan kelangsungan kabinet pada umumnya jika SBY-Boediono terpilih.Tapi tentu saja belum tepat dalam tataran mewakili kepentingan koalisi.
Sejak awal partai Demokrat memberi kewenangan penuh kepada SBY untuk memilih pendampingnya pada Pilpres. Berbondong-bondonglah nama-nama cawapres dari partai maupun profesional hingga 19 nama yang akhirnya mengerucut 3 nama : Boediono, Hidayat Nur Hidayat, dan Hatta Radjasa. Salah Sejak pengumuman hasil pemilu yang menempatkan Demokrat menjadi satu-satu partainya yang berhak mengajukan capres-cawapres sendiri (suara nasional >20%, kursi parlemen >25%), maka posisi tawar partai menengah PKS, PAN, PPP, PKB (selanjutnya ditulis : 4 Partai) menjadi ‘murah’. Dan akhirnya, PKS menjadi pihak pertama yang mendapat konfirmasi cawapres dari SBY adalah Doktor Ekonomi dan juga Gubernur Bank Indonesia saat ini : Dr. Boediono. Mengapa SBY memilih Boediono?
Menurut saya, minimal ada 10 alasan mengapa SBY memilih Boediono
- SBY ingin cawapresnya “patuh”, ’setia’ dan tidak dominan secara politik.
Boediono merupakan sosok profesional yang fokus pada pekerjaannya dan tidak “bergairah” dengan perpolitikan. Inilah yang dibutukan SBY untuk menjalankan kabinetnya mendatang (jika terpilih) agar fokus, terarah, dan satu komando. Jangan sampai “ada 2 nakhoda dalam 1 kabinet”, dan Boediono yang pasti bukan orang yang akan/berambisi menjadi “nakhoda”, namunsebatas co-pilot. - SBY membutuhkan cawapres yang ahli dalam bidang ekonomi.
Selama ini kebijakan ekonomi kabinet Indonesia Bersatu lebih didominasi Wapres Jusuf Kalla bersama tim Ekonomi Kabinet. Tentunya kapabilitas SBY dalam kemajuan ekonomi masih kalah jauh dari para ekonom-ekonom ahli di negeri ini. Dan memang SBY bukanlah seorang ekonom, karena beliau adalah seorang Jenderal TNI yang terjun dalam politik pemeritahan. Mengapa ekonom Boediono dan bukan Sri Mulyani, karena hanya Mulyani lah satu-satunya menteri yang berani mengancam SBY untuk mengundurkan diri ketika SBY bersikokoh membela kepentingan saham grup Bakrie di BEI Oktober 2008 silam. Jadi, Boediono lebih ’setia’ dan ‘patuh’ daripada Mulyani. - SBY tidak menginginkan wakilnya adalah sosok yang memiliki pengaruh ketokohan dan politik yang besar atau berpotensi membesar.
SBY sudah merasakan bagaimana Wapres saat ini memiliki pengaruh politik dan ketokohan yang dalam beberapa sisi cukup mendominasi daripada SBY. Dan bila saja disusupin kepentingan tertentu (politik), maka keretakan dan non-sinergis akan muncul. Disisi lain, mungkin SBY tidak ingin mendengar pernyataan masyarakat bahwa Cawapresnya adalah “The Real President“ - SBY memilih Boediono karena Boediono adalah ekonom liberal-kapitalis yang handal dan dihormati terutama negara-negara neoliberalis kapitalis seperti Amerika Cs.
Nama Boediono sangat terkenal dikalangan negara kapitalis asing, karena Boediono menjadi orang yang sangat dipercaya oleh kapitalis asing dalam menjalankan agenda-agenda ekonomi pasar dan “globalisasi kapitalis”. - SBY memilih Boediono merupakan suatu langkah untuk mengokohkan Sistem Presidensil Utuh.
Sesuai dengan UUD 1945 Amandemen bahwa sistem pemerintahan kita adalah presidensil, maka SBY berusaha membuka lembaran baru untuk menerapkan sistem presidensil yang utuh. SBY mungkin memiliki pemikiran bahwa Capres-Cawapres seharusnya menjadi satu perpaduan utuh. Hal ini mirip dengan pasangan Capres-Cawapres di Amerika dimana berasal dari satu paket (satu partai). Namun, karena Demokrat hanya menguasai 26% kursi, tentu ia tidak dapat memilih cawapresnya dari Demokrat. Win-win solution adalah memilih kalangan non-partai. Dan bisa jadi, ini merupakan suatu “tes kesetiaan” yang dilakukan SBY kepada 4 partai. - SBY berhak penuh memilih siapa pendampingnya (Boediono) dan tidak perlu bermusyawarah pada 4 Partai untuk memutuskan siapa Cawapresnya.
Karena hal ini sudah menjadi bargaining SBY dan Demokrat sejak awal “silahkan kalian daftar kader terbaik kalian, hanya SBY-lah satu-satunya orang yang memiliki sense yang paling baik menentukan siapa pasangan pendampingnya.”Secara tidak langsung, tersirat bahwa 4 Partai dalam beberapa kondisi dan situasi, tidak boleh mendikte keputusan Capres SBY. Dalam urusan pemilihan Cawapres, kader Demokrat berkata “Hanya SBY dan Tuhan yang tahu”. Wow…. Ini juga menunjukkan sinyal dari kubu SBY kepada 4 partai “Ingat, saya adalah pemimpin kalian. Saya punya otoritas penuh menentukan kebijakan. Cukuplah kalian menjadi pendukung, penimbang sekaligus pelengkap” - SBY memilih Boediono merupakan langkah strategis SBY untuk menjaga kepentingan Partai Demokrat di masa mendatang yakni periode 2014.
Jika saja SBY terpilih kembali pada periode kedua, maka tahun 2014 SBY tidak bisa mencalonkan diri lagi. Sedangkan hingga saat ini, belum ada kader populer dan kompenten Demokrat yang siap menggantikan SBY nantinya. Sedangkan saat ini, bisa dikatakan 80% Demokrat adalah SBY itu sendiri. Menyikapi itu, maka SBY akan jauh lebih aman memilih wakil yang tidak berpotensi menjadi “rising star” dan menjadi pemimpin di tahun 2014. Jika SBY memilih 1 tokoh populer dari 4 partai, berarti SBY sedang membesarkan “macan” di kandang Demokrat yang mana akan menjadi potensi Capres di 2014 mengalahkan kepemimpinan dari Demokrat. - SBY memilih Boediono berarti membuka peluang besar koalisi Demokrat-PDIP
Ini juga menjadi harapan SBY agar PDIP merapat ke Demokrat. Andai saja “deadlock” PDIP-Gerindra tidak ada “key”nya. Boediono adalah orang yang dekat dengan PDIP. Baik Demokrat maupun PDIP sama- sama mengklaim partai nasionalis, meskipun faktor kapitalis tampak dalam berbagai kebijakannya.
Hal ini juga saya bahas di bagian akhir dari artikel :Inilah Politik : Yoyo vs Gasing Ingin Berkoalisi - SBY memilih Boediono dengan harapan memberi nilai “tengah” kepada 4 partai dan 3 usulan cawapres
Agar netral dalam “menimbang-nimbang” dari utusan cawapres 3 parpol yakni dari PKS (Hidayat Nur Wahid), PAN (Hatta Radjasa), dan PKB (Muhaimin Iskandar). Disisi lain, SBY berusaha menepis opini publik bahwa SBY terlalu mengakomodir kekuatan “hijau” sehingga secara bertahap SBY akan “dikeroyokin” oleh perwakilan yang mengsuarakan perubahan “Sila 1 Pancasila”. - SBY tidak memilih salah satu dari 3 kader partai karena :
- Hidayat Nur Wahid (HNW): dikenal tokoh yang terlalu “hijau” dan kurang kapabel dalam ekonomi yang menjadi fondasi dasar pemerintahan. Disisi lain, banyak potensi negatif yang akan dituju HNW seperti beberapa rumor yang telah beredar beberapa waktu silam.
- Hatta Radjasa (HR) : HR memiliki “cacat” tatkala terjadi banyak kecelakan ketika menjadi Menhub. Disisi lain, memilih HR berarti mengikuti “instruksi” Amien Rais yang notabene bahwa SBY setuju dan menerima kebijakan pro-rakyat, suatu kebijakan yang berhaluan dengan SBY yang lebih pro-kapitalis. Meskipun HR adalah “speaker”-nya SBY.
- Muhaimin Iskandar (MI) : MI adalah Ketum PKB yang notabene tidak begitu dihendaki SBY mengingat Wapres dari ketua partai akan berpengaruh pada kinerja kabinet (bisa pecah). Disisi lain, SBY pun menimbang, apakah MI tidak berpotensi “tidak menghormati SBY”, karena MI pernah dan sedang bersiteru dengan “tuannya” Gus Dur, meskipun Cak Imin dekat dengan SBY.
*********
Itulah 10 analisis saya mengenai mengapa SBY memilih Boediono dan bukan memilih wakil kader dari partai PKS, PAN, PKB, PPP (tidak mengajukan). Karena sejak awal Demokrat dan PKS sudah menjalin koalisi flatform yang mengedepankan kepentingan bangsa daripada kursi kekuasaan, maka dalam posisi ini PKS “terpaksa” ikut arus SBY. Sudah sangat jelas posisi SBY cukup tinggi dan “mahal’ dibanding partai-partai kecil ini. Gemparnya isu ini meninggalkan kesan bahwa “koalisi di kubu Demokrat” tidaklah kokoh. Komunikasi dan konflik kepentingan masih sangat kental dalam koalisi yang cenderung mementingkan kepentingan partai masing-masing. Dan tampak sekali bahwa pemerintah SBY akan “cukup” otoriter dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, sangatlah wajar jika PKS, PAN, PPP agak kecewa. Ini juga menunjukkan bahwa manuver “Koalisi Lanjutkan” tidaklah jauh berbeda dengan “Koalisi Besar”. Sama-sama menghitung kekuatan untuk merebut kekuasaan dan akhirnya koalisi yang terbentuk sangatlah rapuh. Parade para politikus partai ini merupakan pelajaran buruk bagi masyarakat yang kurang mengerti tentang politik. Dan dengan kondisi carut-marut kekuasaan ini, maka sangatlah wajar jika Golput menjadi pemenang dengan Angka mencapai 50-66,7 juta penduduk pada Pileg 2009 silam.
Untuk PKS harus bisa menerima ini, karena sejak awal mereka mengatakan telah mengajukan cawapres melalui amplop tertutup seraya mengatakan “dipilih atau tidak, itu tidak terlalu penting (ada 4 alasan koalisi). Yang penting adalah flatform. Kita berkoalisi bukan hanya mengincar cawapres”.
Untuk PAN, hmmm… Pak Amien Rais harus bisa menerima konsekuensinya. Menurut saya, pemilhan Boediono merupakan tamparan cukup keras bagi Amien Rais, karena Boediono adalah sosok pro-liberali-kapitalis, bukanlah sosok yang pro-nasionalis dan ekonomi kerakyatan yang menjadi harapan Amien Rais. Tampaknya, Soetrisno Bachrir (SB) berada di track yang benar, sementara (maaf) pak Amien tampaknya keliru (memang Amien dan Prabowo sulit duduk bersama mengingat perjuangan 1998 ). Pilihan sulit bagi Amien Rais…
Demikianlah 10 analisis saya atas alasan mengapa SBY memilih Boediono sebagai pasangan Cawapresnya. Sangatlah mungkin ada kekeliruan dalam analisis saya ini. Dan saya harap ada masukan dari rekan-rekan. Jika ada kurang, silahkan tambahkan. Jika ada tidak tepat, mohon dikoreksi juga.
Salam Perjuangan Para Aktivis dan Mahasiswa pada 12 Mei 1998
Salam Perubahan,
13 Mei 2009, ech-nusantaraku
No comments:
Post a Comment