My Blog List

Monday, May 4, 2009

Majapahit Runtuh Oleh Bencana Geologi

Suryasengkala Sirna Ilang Krtaning Bhumi alias angka tahun 1400 Caka (1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan dua babad sejarah terkenal Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dan catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M, seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII(1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi, dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.

Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah
Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van
Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau 1478 M sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati dengan sengkalan berbunyi “Sirna Ilang Krtaning Bhumi” atau 0041 (1400) dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi. Yang menarik adalah “krta”. Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. :

“krta” /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti :
1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan
tentram, jasa.
2) dadu dengan empat buah mata.

“Ilang” : hilang binasa.

“Ni/ning” : partikel genitif. “Bhumi” : bumi, tanah.
Menurut kamus linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel = kata yang biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan “genitif partitif” = penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif adalah kasus yang menandai makna ‘milik’ pada nomina atau yang sejenisnya.

Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), “kerta” = hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.

Maka, terbuka untuk menafsirkan “sirna ilang krtaning bhumi” sebagai :
(1) “sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi” atau
(2) “sirna hilang kemakmuran bumi/di bumi”.
Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1
lebih tepat sebab “sirna hilang akibat pekerjaan bumi”. Apa pekerjaan
bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi gununglumpur.

Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang
menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang (dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.

Ada satu lagi penyerta “sirna ilang krtaning bhumi”, yang kalah populer
dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit
yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa
“Guntur Pawatugunung”. Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs (1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak
meneliti sejarah Indonesia, bukunya “Sejarah Indonesia Moderen
1200-2004″ sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg, menyatakan bahwa peristiwa “Guntur Pawatugunung” terjadi pada tahun 1403 Saka (1481 M).

Apa makna “guntur pawatugunung” ? Banyak yang mengartikan, itu adalah peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi (C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa sejarah2 penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa2 alam.

Sekarang kita lihat tahun2 “sirna ilang krtaning bhumi” (1400 Caka) dan
“guntur pawatugunung” (1403 Caka), sangat berdekatan - hanya beda 3 tahun. Benar berbeda tiga tahun atau ada kesalahan pencatatan ? Dua2nya mungkin. Ratusan tahun yang lalu kesalahan pencatatan waktu 3 tahun ya wajar saja. Artinya, punya potensi bahwa “sirna ilang krtaning bhumi ” seperiode dengan “guntur pawatugunung”. Kalau kita mengikuti makna ke-2 sirna ilang krtaning bhumi, maka dapat saja ditafsirkan bahwa Majapahit mundur dan habis oleh bencana semacam erupsi (bisa gunungapi, bisa gununglumpur ala LUSI). “sirna ilang krtaning bhumi” akibat “guntur pawatugunung”.

Alasan politik memang kuat mengakhiri Majapahit, tetapi bencana geologi pun besar potensinya untuk mengakhiri Majapahit - ini berdasarkan kajian geologi di mana dulu Majapahit berlokasi, dan peninggalan2 dalam catatan sejarah.

Pentingnya faktor kebencanaan dalam akhir Majapahit beberapa kali pernah dikemukakan oleh Prof. Sampurno dari ITB. Presentasi Pak Sampurno di PIT IAGI 83 Yogya dijadikan berita di Kompas tanggal 2 Mei 1983, berjudul “Hancurnya Majapahit Bukan Akibat Munculnya Sistem Nilai Baru, tetapi Terlanda Bencana Alam” (oleh J. Purwanto). Dalam wawancara dengan wartawan Pikiran Rakyat pada acara purna bakti Pak Sampurno tahun 2004, Pak Sampurno menyatakan masih akan mengejar meneliti hal ini seusai pensiun nanti. Saya tak punya proceedings PIT IAGI 1983, dan tak punya artikel Kompas tahun 1983 untuk konfirmasi; tahu bahwa Pak Sampurno pernah mengemukakan hal itu dari buku Daldjoeni (1984) - geografi kesejarahan. Awal tahun 1980-an katanya ITB pernah melakukan studi lapangan di sekitar situs Majapahit, yang akhirnya menuju ke hipotesis bahwa Majapahit telah runtuh oleh bencana alam. Barangkali bapak2 dosen ITB anggota milis ini bisa konfirmasi ke Pak Sampurno (Pak Yahdi Zaim, Pak Eddy Subroto, Pak Andri Subandrio, dan bapak/ibu dosen ITB lainnya ?).

Soal ini sudah saya komunikasikan sejak beberapa bulan yang lalu melalui ulasan2 sementara saya di milis ini soal Majapahit. Menarik mencoba mengulasnya dengan pendekatan catatan2 sejarah, buku-buku lama, kajian geologi wilayah Majapahit, bencana terkini ala LUSI, cerita rakyat/folklore, dan kesimpulan2 dari hasil peneltian yang katanya pernah dilakukan ITB awal 1980an.

Majapahit adalah suatu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Bagaimana ia berawal, bagaimana ia naik ke puncak dan bagaimana ia berakhir sama-sama penting untuk dipelajari, siapa tahu kita bisa menarik suatu pelajaran daripadanya.

Oleh : Awang H.Satyana

No comments:

Post a Comment

My Blog List